Konsep Modernisasi Pendidikan Islam Muhammad Abduh Dan Relevansinya Terhadap Pendidikan di Indonesia
PENDAHULUAN
Islam sebagai sistem kehidupan yang di dalamnya memuat sub-sistem berupa aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan, menyajikan landasan-landasan bersifat normatif dalam merealisasikan masing-masing sub sistem yang ada.[1]
Islam menjadi basis teologi beberapa sub sistem tersebut, termasuk di antaranya dalam pendidikan. Dengan senantiasa mengakomodasi semangat transenden dalam setiap proses pendidikan, pendidikan Islam bisa dipahami sebagai sebuah bimbingan dalam arahan dalam upaya mencetak peserta didik yang cerdas, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga spiritual, yang pada gilirannya nanti akan mengantarkan pada identitas Muslim yang maksimal dan bertanggung jawab.[2]
Pada saat ini, posisi pendidikan Islam berada pada posisi determinisme. Artinya, bahwa pada sejarah awalanya pendidikan Islam yang pernah mencapai puncak kejayaannya, dan mampu melahirkan banyak tokoh ilmu pengatahuan yang berkembang dan maju dalam peradaban Islam. Tetapi sekarang ini, kondisi yang terjadi sebalikny, artinya dalam realitas praktis pendidikan Islam seakan-akan tidak berdaya,karena dihadapakan dengan realitas perkembangan masyarakat industri modern.
Jika kita cermati realitas dewasa ini, sering masih belum berbanding lurus dengan normativitas pendidikan Islam. Pola pendidikan yang dihasilkan masih senantiasa melestarikan praktik penindasan dan mendorong pada bentuk pemaksaan (indoktrinasi) terhadap peserta didik. Disadari atau tidak oleh guru maupun peserta didik, keadaan ini akan mengancam terhadap pemenuhan kebutuhan pesera didik. proses pendidikan memiliki tujan mulia, namum realisasinya tidak mengedepankan asas penghargaan terhadap eksistensi peserta didik sebagai individu yang mandiri dalam mengkreasi diri dan realitas, hanya akan berakir dengan sia-sia.
Secara ideologis, pemaksaan dan penindasan dalam proses pendidikan, terjadi disebabkan materi pembelajaran bukan sesuatu yang dibutuhkan oleh peserta didik dalam kehidupan, serta metode pembelajaran yang bersifat monoton dan lebih menonjolkan keaktifan guru dari pada partisipasi peserta didik dalam sebuah interaksi yang dilakukan.[3]
Diakui atau tidak, bahwa peradigma pendidikan Islam masih bersifat konservatif-normatif. Hal itulah yang menyebabkan pendidikan islam berjalan stagnan dan sulit berkembang. Konservatif berarti kolot, bersikap mempertahankan keadaan dan tradis yang berlaku.[4] Sedangkan Normatif lebih berpegang teguh pada pada norma, menurut norma atau kaidah yang belaku.[5] Pada dasarnya kedua istilah tersebut dalam pendidikan mempunyai satu kelemahan: anti kritik, anti nalar serta anti pada perubahan. Hal tersebutlah yang sering menjadikan pendidikan sulit berkembang ke arah yang lebih baik.
Oleh karena itu diperlukan paradigma yang progresif serta pemikiran yang revolusioner untuk merubah pola pendidikan Islam saat ini. Pola pemikiran yang yang progresif, liberal yang bertanggung jawab, mutlak diperlukan dalam rangka memajukan pendidikan Islam
Oleh karena itu kita akan mengkaji tokoh pemikir pendidikan yang mampu memberikan konsep baru dalam sistem pendidikan Islam dan yang secara historis Indonesia mempunyai latar belakang yang sama sehingga pengkajian terhadap tokoh ini diharapakan mampu memberi pengaruh terhadap pendidikan Islam di Indonesia.
Adalah Muhammad Abduh (1849-1905) seorang modernis sejati dalam bidang hukum dan pendidikan. gagasan yang digalinya bersumber dari hukum tertinggi Islam secara langsung yaitu Al-Quran dan Hadis, berhasil melahirkan gerakan modernisasi yang menghentakkan dunia pendidikan di timur tengah bahkan benua Eropa.
Muhammad Abduh gagasan modenisasi pendidikannya dilatar belakangi oleh keadan umat Islam yang jumud,rigil, kolot sehingga menyebabkan mereka serba keterbelakang dalam pentas realitas di panggung sejarah peradan global. Menurutnya keterpurukan umat islam arab pada waktu itu disebabkan oleh stagnanya pendidikan yang berlaku. Oleh karen itu pendidikan harus melakukan pembaharuan secara mendasar.
Abduh dengan gerakan Modernisasi pendidikannya berupaya membuka pintu ijtihad yang selama ini telah membekukan pemikiran umat Islam. Oleh karena itu kajian terhadap tokoh ini sangat menarik untuk ditemukan titik singgung dan titik simpulnya terhadapa pendidikan Islam.
Dari gagasan tersebut (Modernisasi Muhammad Abduh) akan menjadi pioner bagi sumber inspirasi dalam pengayaan khaznah pendidikan Islam. Hal ini didasrkan atas realitas keterbelakangan dunia pendidikan Indonesia yang mempunyai kemiripan dengan situasi kebekuan di jazirah arab waktu itu. Kemiripan tersebut terlihat lebih spesifik pada pada model pembelajran yang konservatif dengan metode hafalan sebagai ciri khasnya. Model pembelajaran yang konservatif tersebut bisa dikatakan sebagai penindasan oleh pendidik kepada peserta dididknya, karena nalar peserta didik tidak diberi peluang untuk berkembang lantaran terforsif untuk menghafal sekian banyak pelajaran. Akibatnya peserta didik hanya tahu dari hal yang diberikan pendidiknya tersebut. Model pembelajaran yang seperti ini masih banyak dijumpai pada lembaga-lembaga pendidikan islam di Indonesia, khususnya pesantren.
KAJIAN TEORI
- Modernisasi pendidikan Islam
Islam dalam sepanjang perjalanan sejarahnya tidak selalu berperan ideal dan determinan bagi pemeluknya. Dalam rangka mengahadapi realitas sosial dan kultural yang penuh problematik,Islam tidak selalu mampu memberikan jawaban yang diharapkan para pemuluknya secara definitif. Kenyataan ini banyak terkait dengan sifat ilahiah dan trasendensi Islam yang berupa ketentuan-ketentuan normatif-dogmatif secara umum. Dalam hal ini, jika dicermati secara seksama, maka akan terlihat adanya semacam “pertarungan teologis” antara keharusan memegang doktrin yang bersifat normatif dengan keinginan memberikan pemaknaan baru terhadap doktrin tersebut agar tampak historisitasnya yang relatif. Pertarungan ini pada gilirannya memunculkan konflik teologis, intelektual, moral, dan sosial di kalangan muslim secara luas. Kenyataan inilah yang diantaranya memicu lahirnya gerakan modernisasi dalam Islam.[6]
Istilah modernisasi atau pembaharuan merupakan alih bahasa dari istilah tajdid. Istilah yang seirama dengan ini adalah pembaharuan, tajdid, modernisasi. Ketiga istilah ini sering dipahami berlainan, sehingga tak jarang menimbulkan polemik yang tiada akhir dikalangan orang muslim sendiri. Dalam kesempatan kali ini ketiga istilah tersebut akan dipahami sebagai istilah yang mempunyai makna serupa jika tidak diartikan sama.
Azyumardi Azra[7] yang dikutip Toto suharto berpendapat bahwa modernisasi atau pembaharuan merupakan upaya untuk mengaktualisasikan ajaran Islam agar sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi. Dengan pengertian ini, pembaharuan dalam Islam berarti telah hadir semenjak masa paling awal bersamaan dengan kelahiran Islam itu sendiri.
Sedangkan Faisal Ismail menyebutkan bahwa modernisasi mempunyai arti usaha secara sadar yang dilakukan oleh suatu bangsa untuk menyesuaikan diri dengan konstelasi dunia pada suatu kurun tertentu dimana bagsa itu hidup.[8]dengan pengertian tersebut, usaha modernisasi dapat dikatakan selalu muncul dalam setiap kurun atau zaman. Hal ini dapat ditelaah dan dipahami dari perjalanan sejarah setiap bagsa. Disamping itu, pengertian ini juga mengindikasi bahwa pembaharuan sama artinya dengan upaya “adopsi” ajaran islam dengan perkembangan baru.
Selain kedua tokoh tersebut, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa modernisasi merupakan proses perombakan pola pikir dan tata kerja baru yang rasional.[9] Pengertian pembaharuan yang dilontarkan Nurcholis Madjid ini mengandung pengertian bahwa modernisasi adalah suatu upaya yang identik dengan rasionalisasi. Selain itu pengertian pembaharuan yang ditawarkan Nurcholis juga mengandung pengertian bahwa modernisasi merupakan proses untuk membebaskan diri dari tradisionlisme yang penuh dengan pola pikir dan tata kerja lama atau tradisional. Dengan kata lain, pembaharu (modernisasi) merupakan lawan dari tradisionalisasi.
Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan cendikiawan muslim tentang konsep dan definisi modernisasi, sesunggunya modernisasi dalam Islam mempunyai watak dan karakteristik tersendiri, yang berbeda dengan modernis-modernis yang lain. Gagasan dan ide modernis dalam Islam muncul sebagai upaya interpretasi kaum muslimin terhadap sumber-sumber ajaran Islam dalam rangka mengahadapi berbagai perubahan sosiokultural yang terjadi dalam setiap waktu dan tempat masing-masing, dengan demikian modernisasi Islam sesunggunya memiliki landasan normatif-teologis yang berasal dari sumber-sumber ajaran Islam, yaitu Al-Quran dan Hadis.[10]
Dari berbagai penulusuran terhadap landasan normatif bagi ide dan gagasan modernisasi Islam, dapat dikatakan bahwa modernisasi merupakan sebuah bentuk implementasi dari ajaran Islam secara konstektual atas dasar interpretasi penafsiran. Modernisasi sesungguhnya merupakan isu yang sudah lama muncul dalam kehidupan umat Islam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa gerakan modernisasi Islam senantiasa muncul dalam berbagai bentuk yang beragam. Semua bentuk modernisasi tersebut merupakan respons dan jawaban kaum muslim atas segala persoalan di zaman mereka, di mana mereka harus menyambutnya secara arif dan bijaksana.
Metode Penelitian
- Rancangan Penelitian
Pemaparan data yang diperoleh, peneliti menggunakan pendekatan tematis, yaitu mendiskripsikan aktivitas seseorang tokoh berdasarkan pada sejumlah tema yang menggunakan konsep-konsep yang biasanya dipakai untuk mempelajari suatu bidang studi keilmuan tertentu.[11]
- Sumber Data
Sumber data dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu sumber primer dan sekunder. Data prime meliputi seluruh buku-buku Muhammad Abduh baik yang berkaitan dengan modernisasi pendidikan maupun tidak. Sedangkan sumber sekunder mencakup beberapa jurnal dan artikel tentang modernisasi pendidikan Islam yang membantu penulis dalam mengolah data primer.
- Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan dalam tiga tahap yaitu:[12]
- Tahap Orientasi: pada tahap ini peneliti mengumpulkan data secara umum tentang pemikiran pendidikan sang tokoh untuk mencari hal-hal yang menarik dan penting untuk diteliti.
- Tahap Eksplorasi: pada tahap ini, pengumpulan data dilakukan lebih terarah sesuai dengan fokus studi
- Tahap Studi Terfokus: pada tahap ini peneliti mulai melakukan studi tentang modernisasi pendidikan Islam telaah terhadap konsep modernisasi pendidikan Islam Muhammad Abduh
- Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi. Dan juga metode wawancara yang akan digunakan adalah sebagai data pendukung dalam pengumpulan data.
- Analisis Data
Berdasarkan pada karakteristik studi tokoh yang bersifat kualitatif, maka analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan jenis analisis taksonomi (taxonomy analysis) yaitu analisis yang memusatkan perhatian pada domain tertentu yang sangat berguna untuk menggambarkan fenomena atau masalah yang menjadi sasaran studi.[13]
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Biografi Muhammad Abduh
Syeikh Muhamad Abduh bernama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1850 M/1266 H, berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya dan bukan pula keturunan bangsawan.[14]
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan. Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pilihan ini bisa jadi hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat dicintai oleh ayah dan ibunya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain, baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang menjenguk. Beliau dikawinkan dalam usia yang sangat muda yaitu pada tahun 1865, saat ia baru berusia 16 tahun.
Pendidikan Muhammad Abduh dimulai dari Masjid al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 Km. dari Kairo) untuk mempelajari tajwid Al-Qur’an. Setelah dua tahun berjalan di sana, pada tahun 1864 ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara dan kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah ia dikawinkan.
Walaupun sudah kawin, ayahnya tetap memaksanya untuk kembali belajar. Namun Muhammad Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali. Maka ia lari ke desa Syibral Khit - tempat di mana banyak paman dari pihak ayahnya yang bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur’an dan menganut paham tasawuf asy-Syadziliah. Pada periode ini, Muhammad Abduh sangat dipengaruhi oleh cara dan paham sufi yang ditanamkan oleh sang paman. Ia berhasil merubah pandangan pemuda ini dari seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi menggemarinya.
Beliau sempat kembali ke Masjid al-Ahmadi Thantha, kemudian menuju ke Kairo untuk belajar di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari, 1866. Di perguruan ini ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, di antaranya: Pertama, Syaikh Hasan ath-Thawi yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles, dan lain sebagainya. Padahal, kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di al-Azhar pada waktu itu; Kedua, Muhammad al-Basyuni, seorang ilmuan yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktekkannya.
Disamping sedikit pencerahan dari ilmu diatas, Abduh bertemu dengan jamaludin Al-Afghoni, yaitu pada tahun 1871. Jamaludin merupakan tokoh Mesir terkemuka diMesir, sang penggagas kebebasan berfikir dalam bidang agama dan politik. Dan semenjak perjumpaannya dengan al-Afgoni, Abduh berusaha mengadakan penyesuain ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian dengan tuntutan ilmu pengethuan dan teknologi. Gagasan penyesuaian inilah yang kemudian disebut dengan modernisasi Abduh tersebut yang bersumber dari penentangannya terhadap taklid.
KARYA-KARYA MUHAMMAD ABDUH
Muhammad Abduh adalah seorang sarjana muslim, banyak sekali menulis artikel-artikel di berbagai surat kabar seperti al-Ihram, Tsamrotul Funun, al-Urwatul Wutsqa dan sebagainya. Beliau seorang yang amat teliti apa yang ditulis atau yang diceramahkan selalu denganpersiapan yang lengkap, maka tidaklah mengherankan apabila kebanyakan hasil kuliah-kuliahnya itu dalam keadaan siap dibukukan.
Adapun karya-karya Muhammad Abduh adalah sebagai berikut:
- Risalah al-Waridah: kitab yang pertama kali dikarang beliau byang isinya menerangkan ilmu tauhid dari segi tasawuf.
- Wahdatul Wujud: menerangkan faham segolongan ahli tasawuf tentang kesatuan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.
- Falsafatul Ijtima’ Wattarikh: disusun ketika memberi kuliah di madrasah Darul Ulum, berisi uraian tentang filsafat sejarah dan perkembangan masyarakat.
- Syarah Nahjul Balagha: uraian dari karangannya sayyidina Ali yang berisi kesusastraan Arab dan menerangkan tentang tauhid serta kebenaran agama Islam.
- Syarah Bashairun Nasiriyah: uraian tentang ringkasan ilmu mantiq (logika), kitab ini diselesaikan M. Rasyid Ridha.
- Risalah Tauhid: buku ini berisi masalah bagaimana manusia dapat mengenal ke-Esa-an Tuhan dengan dalil-dalil yang rasional.
- Al-Islamu wa Nashraniyah ma’al ilmi wa madaniyah: berisi tentang pembelaan Islam terhadap serangan agama kristen dalam lapangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
- Tafsir juz ‘amma: tafsir yang isinya untuk menghilangkan segala tahayul dan syirik yang menghinggapi kaum muslimin.
Selain buku-buku tersebut ada karangan-karangan yang lain seperti:
- Hasy’iyyah ala Syarh ad Daiwani lil aqo’idil adudiyah
- Risalah ar rodad ‘ala dhohriyyah, yaitu terjemahan dari karangan Jamaluddin al-Afghani.
- Maqomat badi’ az-Zamanai al-Hamdi
- Nizamaut Tarbiyah al-Mishriyah, dan lain-lain.
Corak Pemikiran Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan dan dibesarkan dan hidup dalam masyarakat yang sedang disentuh oleh perkembangan-perkembangan dasar di Eropa. Masyarakat tersebut merupakan suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau mengistinbatkan hukum-hukum karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berlandaskan khurofat”. Sementara itu di Eropa hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu.[15]
Keadaan masyarakat Eropa tersebut sesungguhnya telah menanamkan benih pengaruhnya sejak kedatangan ekspedisi prancis (Napoleon) ke Mesir pada tahun 1798. Namun secara jelas tumbuhnya benih-benih tersebut mulai dirasakan Muhammad Abduh pada saat ia memasuki pintu gerbang Al-Azhar. Waktu itu, lembaga pendidikan tersebut para pembina dan ulamanya telah terbagi kedalam dua kelompok, yakni mayoritas dan minoritas. Kelompok pertama menganut pola taqlid, yakni mengajarkan kepada siswa bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu hanya sekedar dihapal, tanpa mengantarkan pada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan. Sedangkan kelompok kedua menganut pola tajdid (pembaharu) yang menitik beratkan uraian-uraian mereka ke arah penalaran dan pengembangan rasa.[16]
Berkat pengetahuan Abduh tentang ilmu tasawuf serta dorongan Syekh Darwisy agar ia selalu mempelajari berbagai bidang ilmu, yang diterimanya ketika usia muda dulu, maka tidak mengherankan jika naluri Abduh yang didukung Syaikh tersebut membuat Abduh lebih condong untuk berpihak kepada kelompok minoritas yang ketika itu dipelopori oleh Syekh Hasan Al -Thawil yang telah mengajarkan filsafat dan logika jauh sebelum Al-Azhar mengenalnya. Pada sisi lain pertemuan Abduh dengan Al-Afgani menjadikan Abduh aktif dalam berbagai bidang sosial dan politik, dan kemudian mengantarkannya untuk bertempat tinggal di Paris, menguasai bahasa Prancis, menghayati kehidupan masyarakatnya, serta berkomunikasi dengan pemikir-pemikir Eropa ketika itu.[17]
Ada beberapa corak pemikiran Muhammad Abduh, yakni:
- Modernisasi[18]
Sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa semenjak perjumpaannya dengan Al- Afgani, Abduh berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Gagasan penyesuaian inilah kemudian disebut dengan modernisasi. Sumber dari gagasan modernisasi Abduh tersebut bersumber dari penentangannya terhadap taqlid. Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an memerintahkan kepada ummatnya untuk menggunakan akal sehat mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengikuti secara pasti hujjah-hujjah yang menguatkan pendapat tersebut, walaupun pendapat itu dikemukakan oleh orang yang seyogyanya paling dihormati dan dipercaya. Abduh menetapkan tiga hal yang menjadi kriteria perbuatan taqlid ini, ketiga kriteria tersebut adalah: (1) Sangat mengagung-agungkan para leluhur dan para guru mereka secara berlebihan.(2) Mengiktikadkan agungnya pemuka-pemuka agama yang silam, seolah-olah telah mencapai kesempurnaan.(3) Takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih dirinya untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.
Berdasarkan pada pandangan tersebut, Abduh memahami Alqur’an, terutama yang berkaitan dengan kecaman terhadap sikap dan perbuatan taqlid tersebut, walaupun menyangkut sikap kaum musrikin. Selanjutnya ia mengecam kaum muslimin, khususnya yang berpengetahuan yang mengikuti pendapat ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan hujjahnya.
Berkaitan dengan modernisasi ini, seorang modernis biasanya memiliki beberapa ciri, diantaranya selalu berusaha menghadapi segala situasi dengan penuh keyakinan serta keberanian, dan gerakannya bersifat kerakyatan, serta senantiasa melibatkan pemikiran pribadi. Kemudian kaum modernis yang telah menjadikan reformasi sebagai tolak ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan ikatan-ikatan positif antara pemikiran Qur’ani dengan pemikiran modern.[19] Perpaduan antara kedua pemikiran ini telah melahirkan beberapa lembaga sosial dan moral modern dengan berorientasi pada Alqur’an.
Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern dengan selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah berfikir, apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat. Karena ia beranggapan apabila itu dilakukan berarti mengubah taqlid yang lama dengan taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah.[20] Islam menurut Abduh harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan perbedaan barat serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian, perbedaan tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.[21]
- Reformis
Muhammad Abduh Adalah seorang pembaharu yang corak pembaharuannya bersifat reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perpektif membangun kembali. Agar tradisi suatu masyarakat dapat survive dan terus diterima, ia harus dibangun kembali. Pembangunan kembali ini tentunya dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Pemikiran pembaharuan yang bercorak reformistik dalam bentuknya yang pertama secara filosofis.[22]
3. Konservatif
Gerakan pembaharuan yang diinagurasikan Muhammad Abduh bersifat konservatif, hal ini terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang tidak bermaksud mengubah potret diri Islam. Risalah Tauhid merupakan bukti dari pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam karya ini berupaya menegaskan kembali potret diri Islam yang telah mencapai finalitas dan keunggulan.[23]
Demikianlah muncul ke permukaan ketiga tipologi pemikiran, yaitu modernis, reformis, konservatif, yang dilontarkan berkaitan dengan pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh. Ketiganya merupakan refleksi dalam membaca segala pemikiran Muhammad Abduh. Dalam pembacaan itu corak pertama lebih menekankan pada aspek slektifitas dan sikap kritis Muhammad Abduh dalam menyikapi dan memandang peradaban barat. Corak kedua lebih menekankan kepada upaya Muhammad Abduh dalam membangun kembali tradisi Islam secara rekonstruktif. Sedangkan corak yang ketiga memfokuskan bacaannya kepada upaya Muhammad Abduh dalam membela Islam melalui finalitas dan keunggulan Islam.
Jadi, inti pemikiran Muhammad Abduh adalah :
-
- Membebaskan pikiran dari ikatan taqlid dan memahami agama seperti kaum salaf sebelum timbulnya pertentangan-pertentangan dan kembali dalam mencari pengetahuan agama kepada sumbernya yang pertama dan mempertimbangkan dalam lingkungan timbangan akal yang diberikan Allah SWT untuk mencari keseimbangan dan mengurangi kecampuradukan dan kesalahan. Dengan cara ini orang dianggap sebagai sahabat ilmu yang bergerak untuk meneliti rahasia-rahasia alam, mengajak menghormati kebenaran dan untuk berpegang kepada pendidikan jiwa dan perbaikan amal.
- Memperbaiki bahasa arab dan susunan kata, baik dalam percakapan resmi atau dalam surat menyurat antar manusia.
- Pembaharuan di bidang politik, ini dilakukannya di Majlis Syura sejak ia dipilih menjadi anggota majelis itu.[24]
Jika dilihat di sini agenda pembaharuan di bidang bahasa, politik, dan akidah dan tunutunan umum. Dan dalam semua sisi itu, Abduh mengemukakan kritik yang membangun. Sedangkan inti seluruhnya adalah pendidikan Islam. Ia melihat bahwa rusaknya masyarakat Islam karena salahnya pendidikan.[25]
MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMAD ABDUH
Tujuan Pendidikan Islam Muhammad Abduh
Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhamad Abduh menetapkan tujuan, pendididkan islam yang di rumuskan sendiri yakni: Mendidik jiwa dan akal serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berpikir, Muhamad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.
Dalam memberdayakan pendidikan Islam, Muhammad Abduh menetapkan tujuan pendidikan Islam yang dirumuskannya yakni; mendidik akal dan jiwa serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[26] Dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, dapat dipahami bahwa yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan yang mencakup aspek kognitif (akal) dan aspek afektif (spritual). Jadi adanya keseimbangan antara akal dan spritual. Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berfikir dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk antara membawa kemaslahatan dan kemudaratan. Dengan hal ini, Muhammad Abduh berharap kemandekan berfikir yang melanda umat Islam pada saat itu dapat terkikis.
Bagi Muhammad Abduh, perbuatan manusia bertolak dari konklusi bahwa manusia adalah makhluk yang bebas memilih perbuatan. Muhammad Abduh menjelaskan bahwa yang mendukung suatu perbuatan manusia adalah akal, kemauan dan daya.[27] Penggabungan dengan tujuan spiritual (afektif), diharapkan dapat melahirkan generasi baru yang berintelektual tinggi, berpikir kritis, tetapi juga memiliki akhlak yang mulia dan berjiwa bersih. Sehingga sikap-sikap yang mencerminkan kerendahan moral dapat terhapuskan. Menurut Abduh, apabila kedua aspek tersebut dididik dan dikembangkan, dalam arti akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka umat Islam akan bangkit dan dapat berpacu serta dapat mengimbangi bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya.
Metode Muhammad Abduh
Dalam bidang pendidikan, Muhammad Abduh cenderung menggunakan metode yang didasarkan filsafat rasionalis.[28] Pengaruh gurunya (Jamaluddin) ternyata cukup besar terhadap metode pembelajaran yang ia terapkan setelah menjadi seorang pendidik. Metode yang digunakan oleh Jamaluddin adalah metode praktis (‘maliyyah) yang mengutamakan pemberian pengertian dengan cara diskusi.[29]
Muhammad Abduh mengubah cara memperoleh ilmu yang umumnya dengan metode hafalan menjadi metode rasional dan pemahaman (insight). Disamping menghafal, siswa juga diharuskan memahami materi yang dijelaskan guru. Muhammad Abduh juga menghidupkan kembali metode munazharah (forum perdebatan umum yang menguji kekuatan teori dan pandangan seseorang) dalam memahami pengetahuan dan menjauhkan metode taklid (mengikuti pendapat orang lain) buta pada masa ulama. Ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah dikalangan mahasiswa Al- Azhar. Selain itu ia juga membuat metode yang sistematis dalam menafsirkan al-quran yang didasarkan pada lima prinsip:
-
- Menyesuaikan peristiwa yang ada pada masanya dengan nash alquran
- Menjadikan alquran sebagai sebuah kesatuan
- Menjadikan surat sebagai dasar untuk memahami ayat
- Menyederhanakan bahasa dalam penafsiran
- Tidak melalaikan peristiwa-perisiwa sejarah untuk menafsirkan ayat-ayat yang turun pada waktu itu.
Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral
Di samping pendidikan akal, Muhammad Abduh juga mementingkan pendidikan spiritual agar lahir generasi yang mampu berfikir dan punya akhlak yang mulia serta jiwa yang bersih. Tujuan pedidikan yang demikian ia wujudkan dalam seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat atas. Kurikulum tersebut adalah.
- Kurikulum Al-Azhar
Karir Muhammad Abduh dimulai setelah ia menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, atas usaha Perdana Mentri Riadl Pasya, Ia diangkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum, disamping itu menjadi dosen pula pada Universitas Al-Azhar. Ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang terbilang radikal sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukan udara baru yang segar pada perguruan-perguruan tinggi Islam, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru yang sesuai dengan kemajuan zaman, mengembangkan kesusastraan Arab sehingga menjadi bahasa yang kaya dan hidup, serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik.
Dalam mengajar, Muhammad Abduh menekankan kepada mahasiswanya untuk berpikiran kritis, rasional dan tidak harus terikat kepada suatu pendapat, serta menjauhi paham fatalism, karena ketidak kritisan dan fatalisme umat Islam yang menjadi penyebab kemunduran Umat, kelemahan umat, absennya jihad Umat, absennya kemajuan kultur Ummat dan tercabutnya Umat dari norma-norma dasar pendidikan Islam.
Ia menekankan pentingnya pemberian pengertian dalam setiap pelajaran yang diberikan. Ia memperingatkan para pendidik untuk tidak mengajar murid dengan metode menghafal, karena metode demikian hanya akan merusak daya nalar, seperti yang dialaminya ketika belajar di sekolah formasi di Masjid Ahmadi di Thanta[30].
Krisis intelektual dalam dunia Islam yang berlarut-larut terjadi pada saat itu. Salah satu penyebab dari krisis tersebut adalah dikarenakan adanya dikotomi Ilmu Pengetahuan pada saat itu, sehingga umat Islam jauh tertinggal secara kultural maupun peradaban. Begitupun yang terjadi di Al-Azhar, Muhammad Abduh yakin bahwa apabila pendidikan di Al-Azhar dapat diperbaiki, maka kondisi umat Islam akan ikut baik. Menurutnya perlu diadakan pembenahan administrasi, kurikulumnya diperluas, mencakup ilmu-ilmu modern, sehinnga Al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan universitas-unuversitas lain di Eropa serta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum muslimin.
Adapun usaha Muhamad Abduh mengajukan Universitas Al-Azhar antara lain: (a) Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di eropa kedalam al-azhar.(b) Mengubah sistgem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan penalaran.(c) Menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid.(d) Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama., dan (e) Masa belajar di perpanjang dan memperpendek masa liburan.
- Sekolah Dasar Negeri
Muhammad abduh berpendapat bahwa agama adalah dasar pembentuk jiwa dan pribadi seorang manusia. Maka dari itu hendaknya mata pelajaran agama diajarkan sedini mungkin pada anak sejak mereka duduk di bangku SD. Mengacu pada statement bahwa agama islam adalah dasar pembentuk jiwa dan pribadi seorang muslim, diharapkan dengan memiliki jiwa kepribadian seorang muslim, maka masyarakat Mesir akan mempunyai jiwa kebersamaan dan nasionalisme yang dapat mengantarkan masyarakat mesir memperoleh kemajuan dalam kehidupan berbangsa.[31]
- Sekolah Tingkat Atas
Salah satu upaya memperbaiki pendidikan di Mesir adalah dengan mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk mencetak ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan sebagainya. Pada jenjang ini, Muhammad Abduh merasa perlu menambahkan materi-materi yang berhubungan dengan agama islam. Dengan adanya materi tentang agama, diharapkan para calon pegawai dan perwira militer memiliki bekal agama dan moral yang baik.[32]
Ketiga jenis sekolah yang dibentuk Muhammad Abduh bukan bertujuan menciptakan kelompok social secara eksklusif, melainkan memiliki tujuan untuk melayani kepentingan masyarakat. Prinsip yang diterapkan Muhammad Abduh adalah perlunya mendasari pendidikan dengan moral dan agama. Pengajaran diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, sedangkan pendidikan dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk melakukan suatu perubahan.
Diantara konsentrasi pembaharuan pendidikan Muhammad Abduh juga adalah tentang pendidikan perempuan. Menurutnya, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam menerima layanan pendidikan. Wanita harus dilepaskan dari rantai kebodohan maka dari itu perlu diberikan pendidikan. Dalam mengangkat harkat martabat perempuan, munurunya ada beberapa hal yang harus diperjuangkan pembelajaran buat perempuan; mempersempit talak, dan pelarangan poligami. Semua pemikiran Muhammad Abduh tentang perempuan tertuang dan dikembangkan dalam Tahrir al-Mar'ah karya muridnya, Qosim Amin
Dalam bidang pendidikan nonformal, Muhammad Abduh menyebutkan usaha perbaikan (islah), dalam hal ini Muhammad Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah terutama dalam hal mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka yang utama antara lain:
- Menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar
- Mendidik mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau yang belum mereka ketahui.
- Meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta pada Negara, tanah air, dan pemimpin.
Pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dipengaruhi oleh factor situasi keagamaan dan situasi pendidikan yang terjadi pada masa itu. Keadaan social keagamaan di Mesir saat itu cukup memprihatinkan. Krisis yang menimpa umat bukan hanya dalam bidang akidah dan syariah, tapi juga akhlak dan moral. Pemikiran Muhammad Abduh sesuai dengan yang ada pada saat itu. Pembaruan bidang pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh di Al-Azhar ternyata juga berpengaruh besar pada institusi pendidikan yang ada di Mesir bahkan ide penbaharuannya ditulis dan disebarkan pula melalui majalah terkenal di Mesir, yaitu Al- Manar dan Al-Urwat Al- Wusqa.[33]
Muhammad Abduh berusaha membuat kurikulum yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat mesir pada saat itu. Ia berpendapat bahwa sekolah khusus yang mendidik para ulama hendaknya diberi mata pelajaran yang luas, sehingga Ia memasukkan beberapa ilmu tambahan pada kurikuluum Al-Azhar, antara lain ilmu filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan modern. Hal ini ia maksud untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, yakni para ulama yang modern.
Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan Islam. Usaha Muhamad Abduh kurang begitu lancar disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada tradisi lama teguh dalam mempertahankanya.
Pendidikan Islam, yang selalu menuntut diaktualisasikannnya nilai-nilai Islam dalam kurikulumnya, merupakan inti utama dan pangkal periode dilakukan modernisasi dalam bidang pendidikan. Hal ini tanpak lebih menyolok semenjak terjadinya kontak Islam dengan dunia barat pada akair abad ke-18M. Gerakan modernisasi islam dibidang pendidikan dengan segala bentuk dan coraknya, baik yang konservatif, reformis, sekular maupun yang fundamentalis mempunyai implikasi serius bagi dilakukannya modernisasi pendidikan.[34]
Dalam perkembangan selanjutnya gerakan modernisasi Islam, terutama modernisasi pendidikan tidak terlepas dari unsur filosofis berupa cita-cita dan lembaga pendidikan yang terkait. Keberadaan visi dan misi kependidikan dalam modernisasi pendidikan Islam merupakan lanadasan filosofis dan paradigma ideologis bagaimana idealnya modernisasi pendidikan Islam dilakukan. Oleh karena itu aspek visi dan misi lembaga dalam modernisasi pendidikan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Gerakan modernisasi di Mesir jauh sebelum Muhammad Abduh memang cukup melelahkan. Pengalaman turki dan Mesir kiranya cukup lengkap untuk mencerminkan kondisi bagimana proses modernisasi pendidikan terjadi pada dunia Islam. Pada tahap yang paling awal baik turki maupun Mesir sebagian besar tidak diarahkan kepada modernisasi lembaga-lemabag kependidikan. Yang disebut diberbagai literatur tentang “modernisasi” pada esensiny adalah pembaharuan pemikiran dan cita-cita dengan perspektif intelektual,
Segala upaya modernisasi dalam bidang pendidikan islam senangtiasa mengimbulkan pro dan kontra di kalangan tokoh-tokoh muslim sendiri. Diantara mereka ada yang beranggpan bahwa modernisasi pendidikan dengan jalan transformasi pengetahuan modern sebaiknya dibatasi haya bidang teknologi saja. Sementara itu, tukoh-tokoh yang lain beranggapan bahwa kaum muslim harus memperoleh pengetahuan teknologi dan intelektual barat sekaligus, sebab tidak ada ilmu pengetahuan yang merugikan.[35]
Berbagai permaslahan kaum muslim yang muncul berkaitan dengan tantangan dunia modern dicarikan solusinya dan didekati oleh Muhammad Abduh dengan perspektif Islam.inilah karakter terkuat dari modernisasi yang dilakukan kaum muslin pada masa yang paling awal.
Berdasarkan pada gerakan pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh, masalah modernisasi pendidikan dan reformulasi hukum mendapat penekanan yang kuat dari Muhammad Abduh. Menurut Rasyid Ridho yang dikutip oleh Toto suharto menyatakan bahwa pendidikan bagi Abduh bertujuan “mendidik akal dan jiwa serta mengembangkannya hingga batas-batas yang memungkinkan anak didik mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[36]
Dari tujuan pendidikan didepan, Muhammad Abduh tampaknya berkeinginan agar proses pendidikan dapat membentuk kepribadian muslim yang seimbang antara jasmani dan rohani serta intelektualitas dan moralitas. Pendidikan bukan hanya mengambangkan aspek kognitif semata, tapi juga harus menyelaraskan aspek afektif dan psikomotorik. Pandangan ini merupakan kritiknya terhadap situasi dan aktivitaf pendidikan di Mesir pada waktu itu, diaman pendidikan hanya menekankan salah satu aspek saja dengan mengabaikan aspek yang lainnya.
Situasi pendidikan yang demikian itu terus eksis karena pada waktu itu di Mesir berkemabng dua model pendidikan. Model pertama adalah “sekolah Modern”. Sekolah model ini hanya mengutamakan pada pengembangan aspek intelektualitas saja. Dalam pandangan Muhammad Abduh, pendidikan model ini dapat mengancam keberadaan agama dan moralitas bangsa, karena tergoyahkan pemikiran modern yang diserap dari barat yang tidak dilandasi agama. Model sekolah kedua “Sekolah Agama” sekolah ini mempunyai karakteristik yang masih bersifat doktrinal teologis dan tradisional. Alumni dari sekolah model kedua ini enggan menerima perubahan dan cenderung mempertahankan tradisi lama. Oleh karena itu Muhammad Abduh bermaksud mengadakan reformasi secara kelembagaan dengan menyintesiskan kedua model sekolah itu, sehingga jurang pemisah antara keduanya dapat disatukan secara sinergis.[37]
Dengan agenda reformasinya, Muhammad Abduh berambisi untuk melenyapkan sistem dualisme dalam pendidikan di Mesir. Dia menawarkan pada sekolah Modern agar menaruh perhatian pada aspek agama dan moral. Sedangkan pada sekolah agama, seperti al-Azhar, Muhammad Abduh menyarankan agar dirombak menjadi lembaga pendidikan yang mengikuti sistem pendidikan modern.[38]
Abduh memusatkan modernisasi pendidikan di al-Azhar karena baginya modernisasi di al-Azhar sama halnya dengan membenahi kondisi umat Islam secara keseluruhan lantaran para mahasiswanya berasal dari seluruh penjuru dunia. al- Azhar merupak pusat ilmu pengetahuan di Mesir bahkan di seluruh dunia Islam. Jika sistem pengajaran di al-Azhar dapat diperbaiki, ilmu-ilmu yang diajarkan diperluas sehingga ilmu-ilmu baru bisa masuk, dan bahkan jika Islam dapat diperbaharui dan diperbaiki dari mulai dari sini, maka Abduh berharap angin perubahan akan tertiup ke seluruh Mesir bahkan kenegri-negeri islam yang lain.[39]
Di dalam kurikulm al-Azhar, Abduh memperkenalkan ilmu dan sains modern, yang pada saat itu hanya memuat ilmu-ilmu keislaman saja.Abduh menjadiakn al-Azhar sebagai laboratorium pemikirannya yang mengajarkan ilmu pengetahuan modern, di samping juga mempertahankan ilmu-ilmu Islam Klasik. Selain filasafat, Abduh juga berhasil memasukkan matematika, aljabar, ilmu ukur, dan ilmu bumi dalam kurikulum al-Azhar. Muhammad Abduh menawarkan kurikulum pendidikan yang merupakan penggabungan antar ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu pengatahuan barat modern.[40]
Modernisasi pendidikan Abduh berangkat dari penafsiran Al-quran secara komprehensif. Al-quran dan hadis ditempattkan sebagai sumber hukum paling tinggi dalam setiap pemikiran Abduh. Kemudian, karena manusia diakarunai akal untuk memahami Islam secara kaffah, dan selalu mengahadapi problem kehidupan modern yang semakin komplek, maka dengana akal itulah manusia mampu mengatasi segala permasalahan dengan jalan berijtihad. Dengan akal pula manusia senantiasa bisa memperbarui keimananya melalui pemahaman yang selalu mendalam tentang Tuhan, manusia, dan alam semesta. Dengan bekal keberanian berijtihad dan niat selalu memperbarui iman tersebut akan menumbuhkan semangat pembaharuan. Berawal dari pandangan inilah paradigma pendidikan Abduh lahir untuk memodernisasi pendidikan yang selama ini berjalan dikotomik. Pendidikan modern adalah pendidikan yang mempelajari ilmu alam seperti fisika, sosiologi, filsafat dan lain-lain dismaping itu pendidikan juga tidak boleh mengesampingkan ilmu agama seperti tafsir, fiqih, hadis, akidah, dan lain sebagainya. Dengan penyelenggaraan pendidikan yang demikian, maka siswa akan mempunyai keseimbangan pengetahuan yakni penegetahuan agama dan umum, yang juga berarti bahwa keseimbangan dunia dan akhirat juga terwujud. Inilah yang sering disebut sebagai humanitas religius dalam berbagai diskursus kontemporer.
Disinilah kiranya letak urgensi pemikiran modernisasi Muhmmad Abduh yang diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam, yaitu prinsip keseimbangan dalam pendidikan. Muhammad Abduh berusaha meyeimbangkan antara aspek intelek dan aspek moral dalam sebuah sistem pendidikan Islam, Muhammad Abduh yakin kaum muslim akan dapat berpacu dengan barat untuk menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbanginya dari segi kebudayaan.
Sekiranya hal ini dapat dilakukan, kaum muslimin tidak akan tenggelam lagi dalam dunia kegelapan seperti yang pernah dialami pada abad pertengahan. Kritik dan pemikiran Abduh tentang pendidikan keseimbangan diatas didasrkan pada asumsinya bahwa ilmu pengetahuan barat modern yang menekankan aspek rasionalitas tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang mengandung aspek spiritual. Bagi Abduh, keduanya tidak bertentangan, bahkan saling mendukung satu sama lain.
Disamping itu, praksis pembaharuan pendidikan Muhammad Abduh bisa dicermati melalui pembenahan al-Azhar. Pembenahan tersebut setidaknya ada lima hal. Pertama, perubahan kurikulum. Kedua, ujian tahunan dengan memberikan beasiswa bagi mahasiswa yang lulus. Ketiga, penyeleksian buku-buku yang baik dan manfaat. Keempat, tempo mata kuliah yang primer lebih panjang dari pada yang hanya sekunder. Kelima, penambahan mata kuliah-mata kuliah yang terkait dengan ilmu penegtahuan modern.
RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMAD ABDUH DI INDONESIA
Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia,nampaknya respon dan reaksi pesantren terhadap sistem pendidikan modern Barat dan sistem pendidikan modern Islam yang diusung oleh kaum Modernis Islam sangatlah beragam dan menjadi kekhasan masing-masing pesantren yang ada. Setidaknya terdapat dua model respon umat Islam Indonesia terhadap modernisasi pendidikan Islam. Pertama adalah adopsi secara hampir menyeluruh terhadap sistem dan lembaga pendidikan modern. Titik tolak sikap ini adalah sistem dan kelembagaan pendidikan modern, bukan sistem dan lembaga pendidikan Islam tradisional. Kedua, adopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern, khususnya dalam kandungan kurikulum, teknik dan mettode pengajaran. Pangkal dasar sikap ini adalah sistem dan kelembagaan pendidikan Islam tradisional itu sendiri yang kemudian di modernkan, bukan sistem dan lembaga pendidikan modern. Sebagai contoh untuk kasus ini adalah apa yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Manba’ul Ulum, Surakarta, yang didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono pada tahun 1906. Sebagaimana pondok pesantren pada umumnya, Manba’ul Ulum menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu tradisional Islam. Kemudian dalam rangka modernisasi, pesantren ini memasukkan beberapa mata pelajaran modern ke dalam kurikulumnya.
Menurut mapping yang dilakukan oleh Departemen Agama RI dibedakan tiga tipologi pesantren dalam menyikapi modernitas.[41] Pertama, Pesantren Salafiyah (tradisional). Penamaan pesantren salafiyah ini didasarkan pada proses belajar mengajarnya yang menggunakan cara-cara tradisional yakni sorogan dan bandongan / wetonan, tanpa batasan umur dan tanpa batas waktu. Salafiyah ini ada dua macam, yaitu salafiyah murni dimana pondok pesantren ini hanya menyelenggarakan pengajian kitab kuning saja, baik klasikal maupun non-klasikal. Kini, hanya ada beberapa pesantren yang masih bertahan untuk menjalankan sistem pembelajaran tradisional ini. Kedua salafiyah plus, dimana pesantren ini di samping menyelenggarakan pengajian kitab, juga menyelenggarakan pendidikan jalur sekolah atau madrasah atau bahkan Perguruan Tinggi.
Kedua, Pesantren Khalafiyah (Modern). Pesantren dengan tipologi seperti ini adalah pesantren yang melaksanakan proses belajar mengajarnya sudah menggunakan sistem klasikal, memiliki kurikulum tetap dan ada batasan umur dan batas waktu. Khalafiyah ini kurikulumnya ada yang berafiliasi kepada Departemen Agama (madrasah), Departemen Pendidikan (sekolah), dan ada yang menggunakan kurikulum sendiri (seperti Pondok Modern Gontor dan Al-Amien Prenduan), serta menggunakan kurikulum gabungan.
Ketiga, Pondok Pesantren Asrama. Pondok pesantren ini bersifat asrama, karena santrinya bertempat tinggal di pondok pesantren, sedangkan santrinya belajar atau sekolahnya pada pendidikan di luar pondok pesantren, dan kyai berperan sebagai pengawas dan pembina mental para santri melalui pengajian dan majlis ta’lim.
Sehingga Konsep pendidikan Muhammad Abduh ditelaah dari faktor-faktor pendidikan menunjukkan adanya relevansinya dengan Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, terutama pada tujuan pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk peserta didik yang memiliki iman dan takwa.[42]
Sumbangsi pemikiran Muhammad Abduh tentang metode pengajaran relevan dengan pendidikan Indonesia, hal itu dapat dilihat disekolah-sekolah yang tersebar di Indonesia. Metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar tak selalu metode menghapal. Guru berusaha menyajikan metode-metode yang dapat dipahami anak didik dengan mudah, antara lain metode diskusi, kuis, maupun praktek.
Jika dilihat dari segi konsep pendidikan yang dikeluarkan Muhammad Abduh peneliti merasa kurang relevan dengan keadaan di Indonesia saat ini. Muhammad Abduh ingin menggabungkan antara kecerdasan generasi muda yang tidak lepas dari tuntunan islam, meski di Indonesia sekarang ini sudah ada beberapa sekolah yang menggunakan pemikiran beliau, namun masih banyak sekolah-sekolah umum yang kurang mementingkan pelajaran agama (terutama Islam). Hal tersebut bisa jadi karena keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk, dimana terdapat bermacam-macam perbedaan, salah satunya adalah masalah agama.
PENUTUP
Muhammad Abduh adalah sosok pembaharu Islam abad 19/20 yang mengusung rasionalitas dalam beragama. Abduh ingin menghilang kejumudan dalam pendidikan dengan tujuan pendidikan, mendidik akal dan jiwa serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dengan mengkonsentrasikan pada akal dan jiwa, Abduh berharap adanya keseimbangan dalam hidup dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Di samping hidup berwibawa dengan akal yang cerdas, umat Islam juga berperilaku baik yang sesuai dengan ajaran syari'at. Untuk mencapai tujuan demikian, maka ia menggagas kurikulum berbasis sains dan falsafah yang banyak menggunakan akal, dan tanpa meninggalkan pelajaran-pelajaran yang bersifat agamis. Metode yang digunakan dalam pembelajaran ini, lebih terkonsentrasi pada metode diskusi. karena diharapkan murid dapat menganalisa informasi yang didapat. Ia sangat tidak suka dengan motede hafalah tanpa makna, walau informasi banyak didapat, namun tetap saja tidak bermanfaat, karena sang murid tidak paham dengan apa yang dihafalnya.
Kurikulum yang dirancang Muhammad Abduh antara lain adalah kurikulum al-azhar, kurikulum Sekolah Dasar, dan kurikulum Sekolah Tingkat Atas. Konsep pendidikan Muhammad Abduh ditelaah dari faktor-faktor pendidikan menunjukkan adanya relevansinya dengan Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, terutama pada tujuan pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk peserta didik yang memiliki iman dan takwa.
DAFTAR RUJUKAN
Abdurrahman Assegaf dan Suyadi. Pendidikan Islam Madzhab kritis. Yogyakarta: Gama Media. 2008.
Ahmad Arifi. Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Global. Yogyakarta: Teras. 2009.
Ahmad Syar’i. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus
Ahmad Tafsir. Ilmu pendidikan dalam Prespektif Islam. Bandung: Rosdakarya. 2008.
Arbiyah Lubis. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (suatu studi perbandingan). Jakarta: Bulan Bintang. 1993.
Arif Furhan, Agus Maimun. Studi Tokoh. Yogyakarta: Pustaka Barat dan Timur, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2011.
Dawam Raharjo. Islam kemodernan dan keindonesiaan. Bandung: Deliar Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: Pustaka LP3ES , 1980.
Departemen Pendidikan nasional. Kamus Besar bahasa Indonesia Djambatan, 1995.
Faisal Ismail. Paradigma kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Karya Kekuasaan. Yogyakarta: LkiS, 2004.
Fazlur Rahman. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah. Jakarta: Rajagrafindo persada. 1987.
Lexy J. Moleong. Metodologi penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2007.
M. Quraish Shihab. Studi Kritis Tafsir Al-Manar Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
Nurcholis Madjid. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan. 1998.
Yasmadi. Modernisasi pesantren kritikan Nurcholish Madjid terhadap pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
[1] Umiarso, Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam prespektif Barat dan Timur, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media,2011),33
[2] Ahmad Tafsir, Ilmu pendidikan dalam Prespektif Islam, (bandung:Rosdakarya,2008), 32
[3] Ahmad, Arifi, Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Global, (Yogyakarta: Teras,2009), 7
[4] Deraptemen Pendidikan nasional, Kamus Besar bahasa Indonesia
[5] Ibid
[6] Abdurrahman assegaf, Suyadi, Pendidikan Islam Madzhab kritis, (Yogyakarta: Gama Media,2008 ),85
[7] Toto Suharto, filsafat Pendidikan, (yogyakarta: Ar Ruzz media,2006),167
[8] Faisal Ismail, Paradigma kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis
[9] Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan keindonesiaan (Bandung: Mizan,1998),86
[10] Abdurrahman Aseegaf, Suyadi, Pendidikan Islam Madzhab kritis, 86
[11] Arief Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh Metode Penelitian Mengenai Tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 34
[12] Furchan dan Maimun, Studi Tokoh... 47
[13] Ibid., 65-66
[14] Abdurrahman Assegaf, Suyadi, Pendidikan Islam Madzhab Kritis Perbandingan Teori Pendidikan Timur dan Barat, (Yogyakarta: Gama Media, 2008)
[15]M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad duh dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 17
[16] Ibid,hlm. 15
[17] Ibid,hlm. 18
[18] Nur Cholis Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 172.
[19] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruzz, 2006), hlm. 258
[20] M. Qurais Shihab, Studi Kritis Tafsir Al Manar, hlm. 19.
[21] Ibid,hlm.20
[22] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 265
[23] Ibid,hlm.266
[24] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 487 – 488
[25] Muhammad Al Bahiy, Pemikiran Islam Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hlm. 95
[26] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah (Jakarta: 1987) hlm. 309
[27] Ahmad Syar’I, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus) hlm.110
[28] Ibid,hlm.108
[29] Ysmansyah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group) hlm. 242
[30] Nizar, Sejarah Pendidikan, hlm. 250
[31] Ysmansyah, Sejarah Pendidikan Islam,hlm.241
[32] Ibid,hlm.242
[33] Ahmad Syar’I, Filsafat Pendidikan Islam,hlm.108
[34] Abdurrahman Aseegaf, Suyadi, Pendidikan Islam Madzhab kritis,89
[35] Ibid, 91
[36] Toto Suharto, filsafat Pendidikan,276
[37] Abdurrahman Assegaf,Suyadi, pendidikan Islam Madzhab Kritis,93
[38] Ibid,93
[39] Ibid,94
[40] Ibid,94
[41] Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, (Yogyakarta: LkiS, 2004), 5.
[42] Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Departemen Agama RI ), 10.